Friday, October 16, 2009

Media Literacy

Media Literacy

Apa itu Media Literacy
Secara sederhana, media literacy merupakan kepedulian masyarakat terhadap dampak buruk dari media, khususnya media massa. Perkembangan teknologi komunikasi, khususnya media massa, disamping memberikan manfaat untuk kehidupan manusia ternyata juga memberikan dampak negatif. Beberapa dampak tersebut antara lain:
1. Mengurangi tingkat privasi individu
2. Meningkatkan potensi kriminal
3. Anggota suatu komunitas akan sulit dibatasi mengenai apa yang dilihat dan didengarnya
4. Internet akan mempengaruhi masyarakat madani dan kohesi sosial
5. Akan overload-nya informasi (Fukuyama dan Wagner, 2000).
Tujuan dasar media literasi adalah

Media Literacy

Apa itu Media Literacy
Secara sederhana, media literacy merupakan kepedulian masyarakat terhadap dampak buruk dari media, khususnya media massa. Perkembangan teknologi komunikasi, khususnya media massa, disamping memberikan manfaat untuk kehidupan manusia ternyata juga memberikan dampak negatif. Beberapa dampak tersebut antara lain:
1. Mengurangi tingkat privasi individu
2. Meningkatkan potensi kriminal
3. Anggota suatu komunitas akan sulit dibatasi mengenai apa yang dilihat dan didengarnya
4. Internet akan mempengaruhi masyarakat madani dan kohesi sosial
5. Akan overload-nya informasi (Fukuyama dan Wagner, 2000).
Tujuan dasar media literasi adalah mengajarkan khalayak dan pengguna media untuk menganalisis pesan yang disampaikan oleh media massa, mempertimbangkan tujuan komersil dan politik di balik suatu citra atau pesan media, dan meneliti siapa yang bertanggungjawab atas pesan atau ide yang diimplikasikan oleh pesan atau citra tersebut.

Berdasarkan hasil Konferensi Tingkat Tinggi mengenai Penanggulangan Dampak Negatif Media Massa, yaitu 21 Century Literacy Summit yang diselenggarakan di Jerman pada 7-8 Maret 2002, diperoleh gambaran kesepakatan yang disebut 21 Century in A Convergen Media Word. Kesepakatan tersebut, seperti disampaikan Bertelsmann dan AOL Time Warner (2002), menyatakan bahwa media literasi mencakup:
1. Literasi teknologi, yaitu kemampuan pemanfaatan media baru seperti Internet agar bisa memiliki akses dan mengkomunikasikan informasi secara efektif.
2. Literasi informasi; kemampuan mengumpulkan, mengorganisasikan, menyaring, mengevaluasi dan membentuk opini berdasarkan hal-hal tadi.
3. Kreatifitas media; kemampuan yang terus meningkat pada individu dimanapun berada untuk membuat dan mendistribusikan konten kepada khalayak berapapun ukuran khalayak.
4. Tanggung jawab dan kompetensi sosial; kompetensi untuk memperhitungkan konsekuensi-konsekuensi publikasi secara On-line dan bertanggung jawab atas publikasi tersebut, khususnya pada anak-anak.

Menurut David Buchingham, agar media literasi dapat berjalan dengan optimal maka diperlukan adanya pendidikan media untuk literasi media yang mencakup beberapa hal yaitu :
1. Pendidikan media berkenaan dengan pendidikan tentang berbagai (full range) media. Tujuannya untuk mengembangkan “literasi” berbasis luas, yang tak hanya berkenaan dengan media cetak, tapi juga sistem simbolik citra dan suara.
2. Pendidikan media berkenaan dengan pembelajaran tentang media, bukan pengajaran melalui media.
3. Pendidikan media bertujuan untuk mengembangkan baik pemahaman kritis maupun partisipasi aktif, sehingga memampukan anak muda sebagai konsumen media membuat tafsiran dan penilaian berdasarkan informasi yang diperolehnya; selain itu memampukah anak muda untuk menjadi produser media dengan caranya sendiri sehingga menjadi partisipan yang berdaya di masyarakatnya. Pendidikan media adalah soal pengembangan kemampuan kritis dan kreatif anak muda.

Lebih jauh ada beberapa pengertian yang lebih spesifik tentang media literasi yang dapat dirujuk untuk memahami konsep ini. Pengertian tersebut antara lain :
1. Media Literacy di Indonesia lebih dikenal dengan istilah Melek Media. James Potter dalam bukunya yang berjudul “Media Literacy” (Potter, 2001) mengatakan bahwa media Literacy adalah sebuah perspekif yang digunakan secara aktif ketika, individu mengakses media dengan tujuan untuk memaknai pesan yang disampaikan oleh media.
2. Jane Tallim menyatakan bahwa media literacy adalah kemampuan untuk menganalisis pesan media yang menerpanya, baik yang bersifat informatif maupun yang menghibur.
3. Allan Rubin menawarkan tiga definisi mengenai media literacy. Yang pertama dari National Leadership Conference on Media Literacy (Baran and Davis, 2003) yaitu kemampuan untuk mengakses, menganalisis, mengevaluasi dan mengkomunikasikan pesan. Yang kedua dari ahli media, Paul Messaris, yaitu pengetahuan tentang bagaimana fungsi media dalam masyarakat. Yang ketiga dari peneliti komunikasi massa, Justin Lewis dan Shut Jally, yaitu pemahaman akan batasan-batasan budaya, ekonomi, politik dan teknologi terhadap kreasi, produksi dan transmisi pesan. Rubin juga menambahkan bahwa definisi-definisi tersebut menekankan pada pengetahuan spesifik, kesadaran dan rasionalitas, yaitu proses kognitif terhadap informasi. Fokus utamanya adalah evaluasi kritis terhadap pesan.

Media literasi merupakan sebuah pemahaman akan sumber-sumber dan teknologi komunikasi, kode-kode yang digunakan, pesan-pesan yang dihasilkan serta seleksi, interpretasi dan dampak dari pesan-pesan tersebut.
4. Terdapat dua pandangan mengenai media literacy yaitu dari Art Silverblatt dan James Potter (Potter, 2001). Silverblatt menyatakan bahwa media literacy memiliki lima elemen yaitu :
a. Sebuah kesadaran akan dampak media terhadap individu dan masyarakat.
b. Sebuah pemahaman akan proses komunikasi massa.
c. Pengembangan strategi-strategi yang digunakan untuk menganalisis dan membahas pesan-pesan media.
d. Sebuah kesadaran akan isi media sebagai ‘teks’ yang memberikan wawasan dan pengetahuan ke dalam budaya kontemporer manusia dan diri manusia sendiri.
e. Peningkatan kesenangan, pemahaman dan apresiasi terhadap isi media.

5. Di sisi lain, Potter (Baran and Davis, 2003) memberikan pendekatan yang agak berbeda dalam menjelaskan ide-ide mendasar dari media literacy, yaitu:
a. Sebuah rangkaian kesatuan, yang bukan merupakan kondisi kategorikal.
b. Media literacy perlu dikembangkan dengan melihat tingkat kedewasaan seseorang.
c. Media literacy bersifat multidimensi, yaitu domain kognitif yang mengacu pada proses mental dan proses berpikir, domain emosi yaitu dimensi perasaan, domain estetis yang mengacu pada kemampuan untuk menikmati, memahami dan mengapresiasi isi media dari sudut pandang artistik, dan domain moral yang mengacu pada kemampuan untuk menangkap nilai-nilai yang mendasari sebuah pesan.
d. Tujuan dari media literacy adalah untuk memberi kita kontrol yang lebih untuk menginterpretasi pesan.


Media literacy di dunia

Di banyak negara maju, pendidikan melek media sudah menjadi agenda yang penting dengan memasukkannya ke dalam satuan kurikulum pendidikan. Inggris, Jerman, Kanada, Perancis, dan Australia merupakan contoh negara yang telah melaksanakan pendidikan melek media di sekolah. Permulaan abad 21 menandakan perkembangan minat terhadap pendidikan media di beberapa negara. Melek media ini dibangun sebagai alat pendidikan untuk melindungi orang-orang dari dampak negatif media. Di tahun 1930, Inggris merupakan negara pertama yang memunculkan isu mengenai melek media. Sedangkan pada tahun 1960, Kanada memulai pendidikan melek medianya.

Kanada merupakan negara yang terutama mewajibkan melek media di kawasan Amerika Utara. Setiap provinsi di negara tersebut telah ditugaskan untuk melaksanakan pendidikan media dalam kurikulum. Peluncuran pendidikan melek dilakukan karena rentannya masyarakat Kanada terhadap budaya pop Amerika. Konsep melek media menjadi topik pendidikan yang pertama kali muncul di Kanada pada tahun 1978. Pada saat itu berdirilah Association for Media Literacy (AML), sebagai lembaga yang mengurusi segala hal yang berkaitan dengan pendidikan melek media di negara tersebut.

Kemudian Amerika Serikat, yang merupakan negara tetangga Kanada, juga akhirnya menyadari pentingnya terdapat pendidikan melek media di negaranya. Apalagi dampak negatif yang timbul akibat media (terutama televisi) sudah sangat dirasakan oleh masyarakat Amerika sendiri. Frank Baker, salah satu konsultan pendidikan media di Amerika Serikat, melihat beberapa materi yang telah dikembangkan oleh Kanada, Inggris dan Australia sebagai poin awal yang sangat baik, terutama dalam hal dukungan serta kurikulumnya. Hal tersebut dapat dijadikan sebagai suatu
pengalaman untuk mengembangkan pendidikan melek media di Amerika Serikat.

Media literacy di Indonesia

Media massa, terutama televisi, merupakan sarana yang sangat efektif untuk mentransfer nilai dan pesan yang dapat memengaruhi khalayak secara luas. Bahkan, televisi dapat membuat orang kecanduan. Kini, media audio visual ini telah menjadi narkotika sosial yang paling efisien dan paling bisa diterima. Interaksi masyarakat, terutama anak-anak, terhadap televisi, sangat tinggi. Idealnya seorang anak hanya menonton tayangan televisi paling banyak dua jam sehari. Namun di Indonesia, setiap anak dapat menonton televisi selama 3,5 – 5 jam sehari. Anak-anak tidak hanya menonton tayangan yang memang ditujukan bagi mereka, tetapi juga tayangan yang belum pantas untuk mereka tonton. Kondisi ini terjadi tanpa pengawasan yang ketat dari orang tua.
Data pola menonton televisi pada anak-anak menunjukkan bahwa jumlah jam menonton anak-anak melampaui batas jam menonton ideal. Angka 35 jam per minggu, berarti sama dengan 1820 jam per tahun, padahal jam belajar anak sekolah dasar menurut United Nations Education and Culture Organization (UNESCO) tidak melebihi 1000 jam per tahun. Jika melihat perbandingan jumlah jam menonton televisi dengan jumlah jam belajar di sekolah, maka dikuatirkan proses pembentukan pola pikir, karakter, dan perilaku anak justru terbentuk melalui tayangan televisi.
Kondisi tersebut menunjukkan bahwa kekuatan televisi dalam memengaruhi anak-anak sangat besar.

Di samping jumlah jam belajar yang lebih sedikit ketimbang jam menonton, lemahnya pengawasan orang tua terhadap tontonan anak, membuat anak-anak mereka tidak mempunyai filter terhadap tayangan yang tidak mendidik. Dari 1000 jam belajar per tahun di sekolah dasar, pendidikan tentang media hanya dibahas sangat sedikit dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Hal ini sungguh memprihatinkan mengingat interaksi anak-anak dengan televisi jauh lebih tinggi dibanding interaksinya dengan buku-buku pelajaran. Kondisi seperti ini menuntut anak untuk memiliki self sensor awareness terhadap media televisi. Semakin cepat media ini berkembang, maka daya tanggap anak terhadap dampaknya juga harus dibangun.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan, “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat bangsa, dan negara”. Dari rumusan tersebut, cukup jelas bahwa pendidikan melek media sangat sesuai dengan tujuan sistem pendidikan nasional di Indonesia.

Saat ini pendidikan melek media yang ada di Indonesia, masih sebatas gerakan-gerakan yang belum terstruktur. Gerakan-gerakan tersebut dilakukan melalui seminar, road show, dan kampanye-kampanye mengenai melek media. Contohnya seperti yang dilakukan oleh Yayasan Jurnal Perempuan pada tahun 2005, Komunitas Mata Air tahun 2004, Komisi Penyiaran Indonesia tahun 2005, Perhimpunan Masyarakat Tolak Pornografi tahun 2006, dan beberapa organisasi pemerhati media lainnya. Namun, gerakan-gerakan ini baru bisa dilakukan dalam skala kecil. Pendidikan melek media tidak cukup bila disampaikan hanya dalam seminar berdurasi dua jam, atau dalam kampanye dan roadshow selama seminggu. Akibatnya, upaya-upaya memperjuangkan pendidikan melek media belum dapat dirasakan oleh semua pihak secara luas.


No comments: